Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme”
Riset ini pengetahui secara mendalam struktur dasar sikap dan prilaku kaum muda muslim generasi milenial (15-24 tahun) tentang kekerasan dan ekstremisme. Melibatkan kurang lebih 935an aktivis muda Muslim dan 555 narasumber in-depth interview dan 380 narasumber FGD dengan varian ideologi yang sangat beragam di 18 kota/kabupaten, penelitian ini bahwa secara umum sikap dan perilaku kaum muda Muslim bisa dikategorikan moderat, namun pada saat yang sama tren konservatisme dengan ciri skriptural yang menguat. Kecenderungan terakhir ini melahirkan tantangan tersendiri bagi munculnya sikap dan perilaku intoleran, sekaligus menguatnya dukungan terhadap radikalisme dan ekstremisme di kalangan muda Muslim zaman now. Tuk memudahkan pembacaan pada sikap dan prilaku kaum muda Muslim, FGD ini juga untuk mengukur seperti apa dan sejauh mana derajat dukungan mereka terhadap kekerasan dan pengalaman dan pendidikan kebergaman , kekerasan dan terorisme, tema-tema yang diajukan relijiusitas: pemahaman keagamaan dan pengalamaan keberagamaan kaum muda Muslim, pendidikan dan pembelajaran keagamaan, keragaman (diversity) dan toleransi, kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia, wawasan kebangsaan (nasionalisme), radikalisme dan ekstremisme, aktivis muda Muslim menerima pendidikan dan pengajaraan agama yang beragam, mulai dari pendidikan dalam keluarga, formal, dan informal, untuk Pendidikan formal, mereka belajar agama di sekolah umum dan Sekolah Islam Terpadu menjadi salah satu alternatif pembelajaran agama yang relatif digandrungi. Namun di era milenial, media sosial menjadi sahabat sekaligus tempat bertanya bagi anak muda dalam belajar agama. Mereka umumunya menyukai ustaz-ustaz yang digital friendly karena mereka dapat mengakses ceramah ataupun tausiyahnya secara mudah di manapun dan kapan pun mereka menginginkannya. Penelitian ini menemukan bahwa secara umum pengaruh media sosial relatif signifikan mereduksi peran pendidikan agama dalam keluarga dan peran guru agama di sekolah.
Toleransi, HAM, dan Ideologi Negara
Respon terhadap keberagamaan dan toleransi kaum muda Muslim dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua corak. Pandangan pertama menekankan pada toleransi komunal. Cara pandang ini dimungkinkan oleh dominannya skripturalisme dalam beragama, yaitu sikap keberagamaan yang mengacu kepada dalil-dalil al-Qur’an dan al-Hadits yang dipahami secara literal, tanpa melalui proses nalar perbandingan, dan tanpa mempertimbangkan konteks turunnya ayat atau munculnya hadits sehingga dapat ditarik prinsip-prinsip umum untuk diterapkan dalam situasi sosial-historis yang berubah. Skripturalisme ini berpengaruh pada cara menentukan batasan-batasan dalam toleransi beragama, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Dalam toleransi komunal, nilai-nilai kolektif umat Islam lebih diutamakan daripada nilai-nilai individual sehingga pergaulan dan interaksi Muslim dan non-Muslim diterima sepanjang tidak mengorbankan nilai-nilai kolektif tersebut. Pandangan ini sebagian besar didukung oleh aktivis dakwahis (ROHIS, LDK, dan kelompok dakwah di luar sekolah dan universitas).
Pandangan kedua berpijak pada toleransi kewargaan. Sebagian besar didukung oleh aktivis pergerakan kemahasiswaan Islam yang sudah mapan seperti HMI, PMII, IMM, dan organisasi keislaman di luar kampus yang progresif. Toleransi kewargaan ini dipraktikkan secara sadar dan aktif atas dasar nilai-nilai kewargaan/demokrasi yang disinari oleh konsepsi keislaman yang terbuka dan kontekstual. Pada tingkat tertentu, beberapa aktivis Islam progresif telah bergerak melampaui sekadar toleransi, tapi telah menjadikan keragaman sebagai prinsip dalam kehidupan beragama. Pandangan toleransi kewargaan juga didukung anak muda yang berhaluan nasionalis seperti GMNI, Pemuda Pancasila, dan KNPI. Namun, toleransi kewargaan nasionalis ini dicirikan dengan kecenderungan berjarak dengan diskursus keagamaan karena dirasakan sensitif. Akibatnya toleransi beragama yang ditampilkan bersifat pasif belaka.
Sejalan dengan sikap dan prilaku kaum muda Muslim atas keragaman dan toleransi sebagaimana diurai, respon mereka terhadap kebebasan individu dan HAM juga masih relatif kuat dengan unsur konservatisme, komunalisme dan skripturalisme. Terhadap tema ini, ada tiga kecenderungan pandangan, kebebasan individu dan HAM, namun kebebasan itu sendiri harus dibatasi oleh nilai agama dan budaya setempat. didukung oleh kaum muda Muslim yang sebagian besar aktif di ROHIS, LDK, OSIS, BEM dan dalam derajat tertentu OKP kepemudaan seperti IMM dan KAMMI. Kedua pandangan yang menolak sama sekali kebebasan individu dan HAM. Mereka berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia berasal dari Barat dan bukan dari Islam. Justru Hak Asasi Manusia diperkenalkan kepada kaum Muslim dalam rangka merusak umat Islam dengan menciptakan kebebasan individu yang tanpa batas. Pada umumnya pandangan ini didukung oleh kaum muda Muslim yang aktif dalam kelompok organisasi Islam yang memang mencita-citakan kekhilafahan, seperti HTI, dan yang sejenisnya. Bagi kelompok ini, kebebasan individu dan Hak Asasi Manusia harus dievaluasi dengan parameter Islam. Ketiga, pandangan yang percaya bahwa antara Islam dan HAM berjalan seiring. Mereka yang aktif di PMII, HMI, IPPNU, KNPI, Pemuda Pancasila, dan organisasi Isam progresif, mendukung pandangan bahwa kebebasan individu dan HAM tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dari kecenderungan pandangan, hampir semuanya tidak setuju dengan Undang-Undang Ormas dan pembubaran HTI. Kaum muda Muslim di hampir semua kalangan, mulai dari ROHIS hingga yang berhaluan nasionalis, tidak setuju dengan pembubaran HTI, kecuali mereka yang sebagian besar berlatar belakang NU, baik di kalangan aktivis PMII maupun IPPNU. Bagi kalangan aktivis muda NU, pembubaran HTI sudah tepat karena HTI sendiri mengkampanyekan suatu ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Terkait peran perempuan, kaum muda Muslim yang tergolong konservatif dan Islamis tetap memandang perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Mereka bersandar pada al-Qur’an Surah Al-Māidah (34): “laki-laki sebagai pemimpin wanita.” Secara umum kelompok ini bersepakat bahwa perempuan apabila menjadi pemimpin akan menyalahi kodratnya. Aktivis ROHIS, LDK, HTI, Gema Pembebasan, Khilafatul Muslimin, FPI, LUIS, dalam derajat tertentu, KAMMI mendukung pemikiran yang seperti ini. Para aktivis GMNI, PP, dan juga Islam moderat seperti PMII, IMM, dan HMI justru berpendapat bahwa feminisme harus dikampanyekan sebagai bentuk equal right dan social justice. Bahkan mereka mengharapkan kesetaraan gender menjadi cita-cita yang diidam-idamkan bersama, dimana perempuan dapat berperan aktif di ruang publik dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Lebih dari itu, mereka berharap subordinasi perempuan terhadap laki-laki harus direduksi jika emansipasi yang tengah diperjuangkan dapat membuahkan hasil yang baik, adapun dukungan aktivis muda Muslim terhadap Pancasila juga memiliki beberapa kecenderungan, yang dapat diilustrasikan ke dalam 4 tipologi sebagai berikut. Pertama mendukung Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara secara bulat karena Pancasila diyakini sebagai simbol perekat/pemersatu dan penopang prinsip kebhinekaan (diversity) dan kebangsaan. Kaum muda yang mendukung pandangan ini kebanyakan berasal dari organisasi-organisasi dengan basis nasionalisme yang kuat seperti GMNI, KNPI, PMII, dan Pemuda Pancasila. Kedua, mengakui dan mendukung Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara sepenuhnya karena keseluruhan isi dan esensi sila-sila Pancasila bersifat islami, dalam artian cocok dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga mengakui dan menerima Pancasila secara ambivalen. Dalam tipologi ini terdapat dua kelompok, anak-anak muda Muslim yang bergabung ke ormas seperti FPI mengakui Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, tetapi memiliki agenda ideologis, mengembalikan Pancasila ke spirit Piagam Jakarta. Sedangkan para aktivis HTI mengakui Pancasila tetapi memiliki agenda ganda sekaligus, penerapan syariat dan khilafat. Karenanya, pengakuan aktivis HTI terhadap Pancasila harus dilihat secara kritis sebagai pernyataan politik (political statement).
Tipologi keempat, menolak Pancasila secara bulat. Penolakan terhadap Pancasila dijumpai di Bulukumba, Lamongan, Tasikmalaya, Lampung, Bogor, dan di beberapa tempat lainnya. Di Bulukumba, aktivis FDPI (Forum Pemuda Dakwah Islam) menolak seluruh hukum manusia kecuali hukum Allah, termasuk Pancasila. Di Lamongan, anak muda Pondok Pesantern Al-Islam di Tenggulun menolak mengakui Pancasila sebagai dasar dan tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Katanya, Pancasila tidak lebih dari sekadar buatan manusia. Di Lampung, sejumlah aktivis muda mendambakan Khilafatul Muslimin (KM) dipimpin seorang Khalifah bernama Abdul Qodir Hasan Baraja. Di Bogor, terdapat generasi muda dengan corak pemikiran dan keislaman yang menginginkan negara Islam (daulah Islamiyah) berdasarkan syari’at Islam di segala aspek kehidupan. Corak utopian ini dianut para pemuda Islam yang pernah menjadi aktivis HTI.
Kekerasan dan Ekstremisme
Dalam kaitannya dengan kekerasan, secara umum terdapat tiga kecenderungan sikap dan prilaku kaum muda muslim tentang kemunkaran yang muncul di masyarakat: pertama, menolak sama sekali razia dan sweeping. Kecenderungan pertama ini paling dominan di antara kaum muda Muslim di Indonesia di hampir semua tempat dan organisasi. Kedua, setuju razia/sweeping tanpa kekerasan dan pengrusakan. Respon kedua ini lebih dominan di kalangan ROHIS dan LDK, dan beberapa aktivis OSIS, BEM, dan kalangan moderat dan nasionalis. Ketiga, setuju razia/sweeping secara penuh. Kecenderungan ketiga ini lebih banyak tampak dari kalangan aktivis muda Muslim memang terlibat dalam organisasi-organisasi yang sering melakukan hisbah (amar makruf nahi munkar). Terkait hal terakhir ini, wilayah Manado memberikan potret yang khas. Gejala menguatnya aktivisme Islam garis keras ikut mendorong pengentalan sentiment etno-religious di kalangan sebagian umat Kristiani. Kelompok-kelompok seperti Brigade Manguni Indonesia, Laskar Manguni Indonesia, milisi Warany, dankelompok lain, aktif melakukan aksi-aksi demonstrasi saat terjadi permasalahan yang berkaitan dengan isu-isu relasi Islam-Kristen.
Terkait dengan radikalisme, penelitian ini dapat mengklaim bahwa para aktivis muda Muslim cenderung menolak radikalisme dan ekstremisme yang mencoba melakukan perubahan sosial-politik secara revolusioner dan menyeluruh. Ide menggantikan Pancasila dengan kekhilafahan, yang resonansinya kuat di lingkaran aktivis HTI, Khilafatul Muslimin, Jama’ah Muslimin, tidak terlalu mereka hiraukan. Meski demikian, kalangan muda Muslim ini menunjukkan corak keberagamaan yang skripturalis dan konservatif dengan penekanan yang kuat pada nilai kewargaan. Pada kadar tertentu, sikap keberagamaan skriptural dan komunal ini rentan terhadap pengaruh wacana radikalisme manakala relasi sosial mereka dengan kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda diwarnai oleh ekslusivisme social dan prasangka komunal.
Konsekuensi pandangan konservatif dan skripturalis di kalangan muda, dapat dilihat dari temuan lapangan di berbagai daerah, dimana sebagian mereka berupaya mereformulasi konsep-konsep keislaman yang berkembang di kalangan kelompok radikal. Salah satu contohnya adalah gagasan tentang khilafah yang resonansinya berkembang di kalangan muda, dan tidak terbatas di kalangan HTI. Terdapat kelompok muda Muslim yang meyakini kekhilafahan akan tegak pada saatnya nanti, terlepas didakwahkan atau tidak sebagaimana dilakukan HTI dan yang lainnya. Sementara secara umum, hampir semua kaum muda Muslim di Indonesia, baik di kalangan OSIS, ROHIS, LDK, BEM, dan OKP moderat, apalagi yang berhaluan nasionalis, sama sekali tidak yakin dengan pemikiran yang ingin menegakkan kekhilfahan atau kepemimpinan Islam. Bagi kaum muda yang termasuk ke dalam kategori terakhir ini, mereka berkeyakinan bahwa sangat sulit mengganti Indonesia dengan ideologi Pancasila menjadi negara khilafah dengan syariat Islam, penelitian ini menemukan indikasi yang kuat bahwa sangat minim aktivis muda Muslim milenial menganut sikap dan perilaku keberagamaan yang ekstrim. Kalaupun ada, sikap seperti itu dianut mereka yang memang sudah bergabung dengan kelompok-kelompok jihadis yang jumlahnya terbatas. Bahkan sebagian besar kaum muda Muslim memoderasi makna jihad. Tetapi menariknya, di tempat-tempat tertentu terjadi sejumlah anomali dalam melihat hal ini. Di Lamongan, misalnya, terdapat sejumlah kaum muda Muslim yang secara mengejutkan menyatakan dukungannya terhadap apa yang telah dilakukan Amrozi dkk, pelaku Bom Bali. Yang lebih mengherankan lagi adalah bahwa sejumlah aktivis yang berhaluan nasionalis seperti GMNI, Pemuda Pancamarga, dan KNPI justru berpendapat bahwa Amrozi bukanlah teroris. Pandangan dan sikap yang seperti ini dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya di mana sebagian besar masyarakat menaruh simpati kepada Amrozi dan teman-temannya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Secara umum sikap dan perilaku kaum muda Muslim milenial terhadap radikalisme tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang ajeg. Namun, pada saat yang sama mereka umumnya menunjukkan sikap dan perilaku keberagamaan yang konservatif, dengan coraknya yang komunal, skriptural, dan puritan. Sekalipun demikian, mereka pada dasarnya terbuka pada nilai-nilai serta prinsip-prinsip moderatisme, dan kekerasan, dengan penghargaan yang cukup baik pada kebebasan individu dan HAM, meski dibatasi oleh norma-norma agama dan budaya. Sikap seperti itu juga tercermin pada bagaimana mereka menceritakan hubungan sosial mereka dengan kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda-beda, corak dan identitas keberagamaan seperti itu adalah cerminan dari proses pembelajaran, pemahaman dan pengalaman keberagamaan yang dipengaruhi konteks agama, budaya dan sosial-politik yang kompleks. Hibridasi identitas, sebagaimana dijelaskan, tampaknya berpengaruh secara kuat terhadap proses pembentukan pandangan, sikap dan perilaku ini. Luas dan kompleksnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum muda Muslim milenial, membuat mereka memiliki kecenderungan konservatif dalam keberagamaan, terutama bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi tingkat awal. Jangkauan pengetahuan mereka yang masih terbatas, serta proses pencarian yang terus-menerus, membuat mereka mudah terdorong untuk mengikuti pandangan normatif ketika disuguhkan isu-isu sensitif seperti keragaman dan toleransi, kebebasan individu dan HAM, wawasan kebangsaan maupun perihal radikalisme dan ekstremisme.
Namun demikian, kesimpulan di atas tidak lantas dipahami sebagai sesuatu yang linear dan konstan. Karena semua spektrum ideologis dari kaum muda Muslim dalam penelitian ini juga memperlihatkan patahan kecil di mana kecenderungan pada konservatisme dan kemudian radikalisme juga muncul. Mulai dari ROHIS, OSIS, BEM, LDK, HMI, IMM, PMII, KAMMI, dan bahkan organisasi yang berhaluan nasionalis sekalipun seperti GMNI, PP, Pemuda Pancamarga, dan KNPI memperlihatkan patahan tersebut. Dalam temuan studi ini, dukungan mereka terhadap pijakan doktrin keagamaan dalam menilai keberagamaan dan toleransi, kebebasan individu dan hak asasi manusia, dukungan terhadap Pancasila dan demokrasi, dan dukungan terhadap radikalisme dan esktremisme sebagaimana diulas dalam temuan di atas relatif konsisten. Berpijak dari kesimpulan di atas, ada beberapa rekomendasi dari hasil penelitian ini yang bisa dijadikan pertimbangan oleh semua pemangku kepentingan, baik pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga daerah, universitas, organisasi keagamaan, organisasi masyarakat sipil, organisasi kepemudaan, dan masyarakat luas, perlu memperbanyak dan memperluas perjumpaan di kalangan kaum muda Muslim dengan beragam latar belakang yang berbeda, terutama dari sisi etnis dan ras. Misalnya, kemah antar etnis, antar agama dan sejenisnya. perjumpaan yang demikian akan memungkinkan kaum muda Muslim ini bisa mempelajari kelompok lain dengan cara yang lebih respek dan terbuka membatasi pengaruh gerakan dan aktivisme Islam konservatif, garis keras dan radikal dalam lembaga pendidikan formal tanpa terjebak pada kebijakan yang kontraproduktif, pelarangan, pembekuan, dan sejenisnya, memperkenalkan diskursus nilai kewargaan bagi kelompok konservatif seperti ROHIS dan LDK melalui kurikulum formal di sekolah dan universitas, jangan mengabaikan program ROHIS dan LDK seperti liqa dan yang sejenis berjalan sendiri begitu saja tanpa intervensi dari otoritas sekolah dan kampus dengan diskursus nilai-nilai kewargaan, selain itu penting juga mengekspos dan memperkenalkan keragaman penafsiran di dalam Islam terhadap kelompok-kelompok konservatif dengan dengan ragam metode yang lebih popular, mendorong kelompok moderat untuk terlibat aktif dalam area dakwah yang lebih luas seperti ROHIS dan LDK, dan tak hanya berebut BEM saja, Seminar ini diadakan di Hotel Cemara Jakarta Pusat, 23 Februari 2018.
Komentar
Posting Komentar